Merayakan Kehilangan
Siang lalu, aku dikagetkan sebuah obrolan pada aplikasi smartphone-ku. Tidak ada nama tertulis, hanya sebuah nomor, yang artinya tidak pernah kusimpan. Hingga akhirnya, si pengirim mengenalkan diri. Dia teman kecil di kampung dulu. Cukup kaget, mengingat terakhir kali kami berbicara adalah beberapa tahun yang lalu saat dia akan menikah dengan yang menjadi suaminya sekarang. Nomornya berganti katanya. Kami bertukar kabar, lalu ia mengungkapkan apa alasannya ia menghubungiku setelah sekian lama tidak bertukar kabar. Ada kabar duka.
Dia bercerita baru saja kehilangan bayinya seminggu yang lalu. Bayi yang sempat menjadi bagian hidupnya selama 5 bulan harus meninggalkan dirinya karena terlilit tali pusar sehingga tidak ada asupan oksigen. Jujur, aku tak tahu rasanya kehilangan seorang bayi yang selalu bersama dan berbagi tubuh dengannya selama 5 bulan. Ikatan emosi yang terjalin pasti sudah begitu kuat. Manusia punya cara praktis di otaknya untuk merespon sebuah rasa kehilangannya, yaitu mencari kambing hitam. Dalam kasus temanku, ia menyalahkan dirinya sendiri. Pertanyaan besar yang ditujukan kepadaku adalah “Kenapa Tuhan hanya mengijinkan keberadaan bayi ini sebentar saja?”.
Pertanyaan yang cukup besar ditanyakan oleh seorang ibu yang baru kehilangan anak yang ia rencanakan dan nantikan karena ia dan suaminya merasa sudah cukup mampu punya bayi. Pertanyaan ini mungkin menjadi pertanyaan semua orang saat mengalami kehilangan. Tidak usah hal besar, mungkin dari hal kecil seperti kehilangan kunci, handphone, atau boneka kesayangan. Respon yang muncul pertama kali di otak beberapa manusia adalah “Kenapa gw bego banget sih?”. Tapi, kehilangan akan tetap jadi kehilangan kan.
Jika kehilangan hal sekecil itu saja, ada perasaan begitu besar, bagaimana jika kita kehilangan yang lebih besar? Tidak ada yang berharap kita kehilangan dalam perjalanan hidup kita, but life still teach you that way. Kehilangan sahabat yang menemani perjuangan kita selama bertahun-tahun. Kehilangan anggota keluarga tidak peduli seberapa jauh atau dekatnya. Kehilangan tetap kehilangan yang akan berdampak pada hidup seseorang. Kehilangan punya porsinya masing-masing pada setiap hidup orang, bisa jadi itu besar atau kecil. Tidak sedikit juga yang dampaknya dapat mengubah hidup dan perilaku hidup seseorang.
Sampai sekarang, aku juga tidak pernah tahu jawabannya dan tidak pernah bisa menjawab dari pertanyaan “kenapa?” tersebut. Ada ratusan kemungkinan: mungkin kita ceroboh, mungkin kita salah langkah, mungkin kita abai, mungkin semesta yang mendesign-nya demikian. Tapi, ada satu hal yang pasti: rasa kehilangan itu harus diluapkan. Emosi yang terkungkung hanya akan menjadi bom waktu yang dampaknya dapat merugikan diri sendiri dan banyak orang. Beberapa orang memilih berteriak ketika rasa sesaknya tidak tertahankan. Lainnya, memilih menangis ketika rasa sedihnya memberontak. Ada yang memilih menyendiri, karena isi kepalanya sudah terlalu berisik untuk mendengarkan komentar orang lain. Emosi atau rasa kehilangan tersebut harus diberi tempat.
Manusia diajarkan hanya merayakan emosi yang sifatnya berbahagia karena ada kejadian yang menyenangkan seperti kelahiran, ulang tahun, kelulusan, pernikahan, dan punya anak. Kita lupa bahwa ada emosi lain yang harus diberi tempat dan diluapkan. Jika emosi-emosi bahagia tersebut bisa dirayakan, mengapa kita tidak memberi pemahaman yang sama pada rasa kehilangan? Memberikan perayaan pada emosi tersebut. Tidak harus dibuatkan acara khusus untuk rasa kehilangan. Cukup diberi ruang dan waktu. Cara sederahana merayakannya adalah membiarkan emosi itu keluar dan diluapkan.
Komentar
Posting Komentar