Athene

Tidak ada yang dapat mendefinisikan pagi ini. Matahari tampak perkasa dengan hangat sinarnya yang menembus atmosfer bumi, burung-burung tanpa enggan menyanyikan lagu yang sering kali disebut melodi alam bagi para penyair, bahkan bunga-bunga itu tak malu menunjukkan mekar kuntum mereka. Inikah namanya cerah? cerah bagi orang-orang yang melewati waktu mereka dengan berlalu lalang di pinggiran jalan yang mereka sebut bekerja sambil berceloteh tentang negeri ini. Celotehan tentang pejabat ini dan pejabat itu yang ditangkap korupsi, bahkan kadang-kadang mereka lebih hebat daripada infotaiment untuk mengomentari tingkah laku para artis, entah yang baru kawin atau baru cerai, entah yang tertangkap polisi atau bercekcok dengan sesama artis. Sudah bobrokkah negeri ini? atau malah sudah hancurkah negeri ini? Tidak, itu tidak sama sekali perlu dipedulikan, setidaknya bagiku. Aku  masih saja duduk di kursi yang sama sejak 3 jam yang lalu, tidak bergerak, aku hanya bisa diam, tidak juga memikirkan apa-apa. Realitasku seakan terpenjara dalam ruang 6 x 8 itu.
Jangan pikir ruangan itu sebuah penjara dengan jeruji yang dijaga banyak penjaga keamanan. Ruang ini jauh lebih elit, harganya bahkan bisa melebihi harga sebuah kamar hotel di bintang 5 sekali pun. Tidak ada hiasan indah, hanya vas berisi air dengan bunga mawar kuning yang kubeli pada sebuah florist pagi tadi,,"mawar kuning bagus untuk menjenguk orang sakit, harapan akan kesembuhan" pesan si tukang bunga. Sebuah single bed dengan lemari kecil di samping kanannya. Di sebelah kanan tempat tidur itu ditemani sebuah tiang besi yang menggantung botol infus dan sebuah tabung oksige. Selang-selang mereka terhubung dengan tubuh gadis remaja yang terbaring tidur di tempat tidurnya. Seorang gadis yang sedang berjuang menghadapi penyakit yang menderanya sejak 3 tahun lalu.
Hari itu masih tersimpan rapi dalam memoriku, hari spesial bagi Athene yang baru menginjak usia remaja, juga hari yang mengubah segalanya buat Athene, adik perempuanku satu-satunya.
Taman rumah dihiasi lampu-lampu berkedip kecil, "supaya nampak seperti kunang-kunang" pesan Athene. Suasana sendu petang menjelang malam menambah suasana riang hari spesial Athene. Tidak banyak tamu yang datang, hanya beberapa keluarga dan teman dekat Athene yang diundang. Tidak juga ada kesan mewah, hanya beberapa makanan masakan yang disediakan dibuat oleh mama sendiri, dengan mie goreng sebagai menu khusus kesukaan Athene. Kue ulang tahun pun hanya sesederhana yang dipesan di toko roti dekat rumah.
Athene sendiri yang merengek-rengek meminta dibuatkan mie goreng kepada mama pada ulang tahunnya. Aku ingat, waktu itu 3 hari sebelum hari ulang tahunnya, Athene yang baru pulang sekolah berlari masuk ke rumah memeluk mama yang sedang memasak makan siang, "mama, besok lusa bikinin mie goreng kesukaan Athene ya."
Tepat pukul 18.30, bukan malam, tepat petang, lagu-lagu ulang tahun itu dinyanyikan, semua orang bertepuk tangan dan bernyanyi. Athene keluar dengan gaun kuning lembut sederhana, tapi jatuh cantik di atas tubuhnya. Aku menjemput puteri cantik itu sambil mengulurkan tanganku, "Happy Birthday sis."
"Thank you kak." disambutnya tanganku sambil menyunggingkan senyum. Aku merasakan tangannya gemetar dalam genggamanku gugup dilihat oleh banyak orang, "Tenang, kakak sama kamu kok" kemudian aku menuntunnya tengah-tengah taman tempat kue ulang tahun ditaruh. Semua mata melihat ke arah kami, ke arah puteri cantik di sampingku tepatnya, ia bidadari hari ini. Tidak tidak hanya hari ini, bagiku ia adalah bidadari selamanya.
Di hadapannya ada kue ulang tahun cantik dengan hiasan pink khusus pesanan mama. Di atas kue itu bertabur 14 lilin kecil, sesuai dengan banyaknya tahun yang telah dilewatinya sejak kulitnya disentuh udara dunia. Dibalik senyumnya, aku tahu ia gugup, tangannya masih gemetar dan kebas oleh keringat karena semua mata menatapnya sekarang. "Athene, sekarang tiup lilinnya ya." senyum cantik itu memburat, wajahnya menatapku. Dengan iringan lagu tiup lilin, wajah lembut itu menatap kue ulang tahunnya, lalu meniup semua lilinnya.
Pegangan tangannya mengendur, tubuh di sampingku itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan, sigap aku menopang tubuhnya. "Athene, kamu kenapa? Thene, bangun dong jangan bikin kakak panik!" kutepuk-tepuk pipinya. Semua terasa hilang, tidak ada gravitasi, tidak ada udara, gadis kecil ini masih saja memejamkan matanya, menghujamkan rasa khawatir dalam setiap sel darahku.
Sudah lebih dari 3 tahun dan kondisi gadis itu masih saja sama, atau mungkin memburuk. Tidak ada yang pernah tahu, bahkan dokter pun tidak. Sejak didiagnosis, Athene memiliki kelainan jantung yang terus melemah, selebihnya hanya waktu yang menentukan. Aku harus apa? Harus memutar waktu supaya ini tak pernah terjadi? Harus menggantikan posisinya, aku mau jika itu bisa? Tidak ada yang mampu menjawab sekarang, tidak juga hari yang hanya bisa terus berganti.
Seminggu lalu ia minta diajak jalan-jalan malam ke taman terdekat, "ingin lihat bintang" katanya. Wajahnya malam itu jauh lebih cerah dari biasanya, bahkan ada semburat merah di pipinya yang biasanya selalu pucat. "Adek mau kemana?" Tanyaku khawatir sedari tadi hanya berputar-putar, "kakak capek ya? Kita duduk di sana yuk kak." Ditunjuknya sebuah kursi taman di bawah pohon yang cukup rindang. Kudorong kursi roda ke tempat yang ditunjuk. Kugendong dirinya supaya bisa duduk di kursi itu dan wajah itu masih saja tersenyum, entah apa yang dia rasakan. Athene, sesekali ucapkanlah biar kakakmu ini tahu, kakakmu bukan cenayang yang bisa baca pikiran orang tanpa kau katakan. 
"Kak," dipeluknya lenganku yang duduk di sampingnya, lalu menyenderkan kepalanya di bahuku, "kakak percaya reinkarnasi?" Tanyanya polos
"Emang kenapa?" Balasku
"Kalau ada reinkarnasi, kakak mau jadi apa?"
Entahlah, kakakmu tidak pernah sedikitpun membayangkannya kataku dalam hati, "memangnya Athene mau jadi apa"
"Jadi adiknya kakak." Jawabnya lembut sambil menatapku. Mata yang menatapku itu penuh ketulusan dan kejujuran.
"Kakak pasti seneng banget kalo bisa begitu" jawabku sambil mencubit hidungnya pelan.
"Waktu Athene naik kelas, Rena pernah nanya kak, kakak inget Rena kan?" Aku cuma mengangguk
"'Athene gak mau punya pacar?' Athene bingung kak mau jawab apa"
"Lho kok bingung? Emang kamu gak pernah suka sama seseorang?" 
"Pernah sih, tapi takut ntar cowok Athene gantengnya ngalahin kakak" lalu kami tertawa bersama-sama,
"Athene gak butuh cowok, Athene udah punya keluarga yang sayang sama Athene, Athene juga udah punya kakak yang segalaaaaaannnyyyaaa banget buat Athene" tukasnya sambil tertawa
"Ih gombal, pasti ada maunya nih" kucubit pipinya pelan.
"Kak, kakak tetep jadi kakaknya Athene ya!" Tiba-tiba ia meminta.
"Kok kamu ngomongnya begitu?"
"Janji ya kak!" Tanpa kusadari air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, seketika air mata itu tak terbendung dan perlahan jatuh di pipinya.
Kuusap air matanya, "kok adek nangis, iya, pasti kakak bakal selalu jadi kakak kamu, selalu"
Saat itu juga ia memelukku, erat, seakan takut ada yang melepaskannya. Tangisnya pecah, air matanya deras membasahi bajuku. Kubalas pelukannya, kudekap seerat yang aku bisa, beraharap ia tahu aku merasa hal yang sama ia rasakan. Kukecup lembut kepalanya. Kami terus berpelukan hingga ia akhirnya tertidur.
Tidak ada lagi tawa sejak malam itu. Tidak ada lagi pancaran mata tulus yang berbicara karena matanya selalu terpejam. Tidak ada lagi dekapan hanya tangannya yang terkulai. Tidak ada lagi celotehan hanya mulutnya yang terbungkam. Di saat aku butuh kepastian akan hidupnya, hanya mesin denyut jantung yang berbicara. Selebihnya, adikku hanya terbaring.

Komentar

Postingan Populer