Che
Dilahirkan
menjadi beda itu terkadang menyebalkan. Apalagi, dilahirkan dengan kulit hitam
legam di lingkungan kebanyakan orang-orang berkulit sawo matang, kuning
langsat, atau mungkin disebut putih. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa harus
dilahirkan berkulit hitam legam? Atau salah para produsen-produsen yang menjajakan
barang-barang yang menjanjikan kulit putih sehingga kulit putih punya daya
nilai jual yang jauh lebih tinggi dibanding yang lainnya, kenapa bukan justru
sebaliknya? kenapa tidak ada produsen yang berusaha menjajakan barang-barang
yang menggelapkan kulit seseorang? Apakah kulit putih punya strata yang lebih
tinggi dan lebih hebat dibanding orang-orang kulit putih? Setidaknya itu
pikiran yang berkecamuk di benak Che semenjak ia pindah ke Bandung.
Di
tanah kelahirannya ia tidak pernah mempersalahkan kulitnya, tapi tidak di
Bandung di lingkungan barunya. Sejak 3 bulan lalu ayahnya yang bekerja sebagai
seorang pegawai negeri dipindahtugaskan ke Bandung. Mau tidak mau seluruh
keluarga Che diboyong ke Bandung. Che disekolahkan di sebuah sekolah SMA yang dekat
dengan rumahnya. Sebuah sekolah swasta yang dipenuhi oleh siswa-siswi yang
kebanyakan adalah orang-orang yang kulitnya jauh lebih terang daripada Che.
Lingkungan sekolah yang membuat dirinya berpikir ulang, salahkah dirinya
dilahirkan menjadi seorang anak yang berkulit hitam?
Tidak
ada prasangka atau dugaan buruk saat Che masuk di sekolahnya yang baru. Hanya
suasana sekolah, yang bagi Che, itu aneh karena semua orang menatapnya dan
memperhatikannya ketika ia berjalan melewati mereka. Tatapan mereka membuatnya
berpikir apakah ada yang salah dalam dirinya, sambil sesekali memperhatikan
penampilannya. Bahkan, ketika ia
memperkenalkan diri di depan kelas, kejadian yang tak pernah dilupakannya.
Seperti
kebanyakan siswa baru lainnya, ia disuruh memperkenalkan diri di depan kelas
kepada seluruh siswa yang ada di kelasnya, “Saya punya nama Christian Gera,
teman boleh panggil saya Che”. Tiba-tiba seperti paduan suara, seluruh kelas
tertawa terbahak-bahak puas hingga ibu wali kelas menenangkan. Sejak saat itu,
Che tahu bahwa dirinya berbeda dan tak pernah dipandang sama oleh teman-teman
lainnya. Tidak hanya kejadian itu yang membuatnya merasa berbeda, beberapa kali
bahkan siswa-siswa lainnya sering menjahilinya dengan ejekan-ejekan “Woi, mandi
tuh pake pemutih biar kulit loe putihan!”, “waktu kecil loe suka main di
comberan ya sampe item gitu?” yang setelah itu Che tahu bahwa comberan adalah
air parit yang kotor, “heh, daki loe gak pernah dibersihin ya!”. Ejekan-ejekan
itu selalu disambut riang oleh teman-teman lain. Awalnya Che menganggap itu
sebagai bercanda, tetapi lama kelamaan dirinya sadar bahwa itu adalah hinaan
bagi dirinya yang kulitnya berbeda.
Sadarnya
Che akan hal tersebut hanya membuat dirinya semakin terasing dari dunianya
sendiri. Di sekolah ia lebih memilih banyak diam di perpustakaan atau di kelas
pada saat jam istirahat. Tidak satu pun orang berusaha menjadi temannya, hingga
suatu waktu yang seseorang yang menghilangkan kesendiriannya datang.
***
Tidak
ada yang salah dengan anak baru itu. Dia tidak nakal, cenderung pendiam,
sedikit lebih banyak senyum pada saat ia pertama kali masuk, bahkan ia cukup
pintar di beberapa bidang mata pelajaran, terlihat dari saat dia mengerjakan
beberapa soal sulit bagi kebanyakan siswa di kelasnya, setidaknya itu yang terbersit
di benak Sasha. Banyak orang mungkin beranggapan bahwa Che adalah semacam alien
karena berkulit hitam dan logat bicaranya yang dipengaruhi oleh budaya
Indonesia bagian timur yang bagi mereka aneh, tapi tidak bagi Sasha “Che itu
unik” pikirnya. Hal itu juga yang menggugahnya untuk mengulurkan tangan
berkenalan dengan Che.
Siang
itu semua siswa sedang istirahat makan siang, dan kebanyakan siswa bermain di
luar kelas. Sasha yang beranjak dari tempat duduknya melihat Che hanya diam di
tempat duduknya sambil menatap keluar jendela, yang Sasha lihat banyak siswa
sedang bermain sepak bola. “Entah apa yang dipikirkan cowok itu” ucap Tasya
dalam hati “kenapa sih dia gak keluar trus ikut main sepak bola di sana!”.
Dihelanya napas panjang, lalu menghampiri Che yang masih belum sadar
kehadirannya. “Daripada kamu diam di sini menonton mereka, kenapa gak kamu
keluar aja ikut main?” yang diajak bicara malah terlonjak kaget dan menatapnya
dengan mata terbelalak. “Namaku Sasha.” Diulurkan tangannya dihadapan Che.
***
Suara
lembut itu mengagetkan Che yang sedari tadi melamun sambil menatap para siswa
yang bermain sepak bola, sepak bola yang selama ini menjadi olahraga
kesukaannya. Bagaimana mungkin Che tidak kaget, dia baru saja disapa oleh siswi
yang cukup populer di kelasnya. Sasha bukan siswi sembarangan, badannya mungkin
mungil tapi cenderung imut, kulitnya yang kuning langsat dan matanya yang
sedikit sipit memperlihatkan bahwa dirinya keturunan Tionghoa. Wajahnya yang
cantik ditambah prestasinya yang gemilang membuat semua siswa berlomba-lomba
mendapatkannya. “Namaku Shasa” siswi itu mengulurkan tangan kehadapan Che yang
masih belum sadar dari kekagetannya, “Che” membalas uluran tangan itu. Tanpa
disuruh, Sasha langsung duduk di sebelah Che yang bangkunya kosong, “kenapa
kamu gak ikut main bareng mereka?”
“untuk
apa saya main, kalau dihina-hina?” balas Che skeptis
“mereka
hanya belum terbiasa Che.” Tangan Sasha menepuk pundak Che menghibur. “gak
banyak orang yang hitam kayak kamu yang mereka temui, jadi mereka belum
terbiasa.” Tukas Sasha sambil sedikit memberikan gesture tanda petik saat
menyebutkan “hitam”. “Bukan maksud aku mengejek kamu, tapi kalau kamu gak
berusaha melebur dengan mereka, kamu selamanya akan jadi sendirian.” Ada nada
ketulusan dalam ucapan Sasha barusan dan itu membuat hati Che sedikit tenang.
Tiba-tiba bel akhir istirahat berbunyi, “nanti siang aku mau ke toko buku bekas
dekat sekolah, kamu mau ikut?” ajak Tisya
“Saya
boleh ikut?” tanya Che terkejut
“Pulang
sekolah ya, aku tunggu, jangan lama-lama. Ntar keburu panas, nanti aku hitam
deh kayak kamu” Canda Sasha meninggalkan Che di bangkunya.
***
Seusai
bel penanda pelajaran berbunyi, semua siswa serempak meninggalkan kelas tanpa
disuruh. Sasha langsung mengajak Che dengan mengayunkan tangannya. Sebenarnya
Sasha juga heran, kenapa dia bisa kepikiran mengajak Che untuk menemaninya ke
toko buku bekas. Pikiran itu tiba-tiba terbersit di pikirannya dan spontan
diucapkan. “Tapi toh tidak ada salahnya mengajak Che, dia bukan orang jahat
ini.” pikirnya. Sepanjang perjalanan ke toko buku, Che hanya menguntit di belakangnya sambil menundukkan
kepala. Sasha menghentikan langkahnya berbalik menghadap Che, “kamu ngapain sih
jalan di belakang gitu.” Ucapnya
“saya
takut nanti kamu malu, kalau kamu jalan sama saya.”
“kalau
kamu mikir sepicik itu tentang aku, lebih baik kamu gak usah ikut.” Tukas Sasha
kesal. “Sebenarnya maunya apa sih orang ini, diajak baik-baik malah mikir
begitu.” Uringnya dalam hati seraya meninggalkan Che.
“Sasha,
maaf.” Panggil Che “saya berjanji tidak akan berkata seperti itu lagi kepada
kamu.”
“Sekali
lagi kamu mikir kayak gitu, aku gak mau jadi temen kamu lagi.” Ancam Sasha.
Mereka
menghabiskan siang itu dengan berputar-putar mencari buku bekas, sambil
sesekali berceloteh tentang buku yang mereka temukan. Bahkan mereka tertawa
terbahak-bahak bersama ketika menemukan buku yang lucu. Hingga hari yang
menjelang sore harus memisahkan mereka, “makasih ya Che, udah nemenin aku.”
Ucapan Sasha tulus sambil tersenyum dibalik keringat yang telah membasahi
pipinya.
“Saya
yang harusnya beri terima kasih, kamu sudah mengajak saya jalan-jalan.”
“Ya
udah, aku pulang ya. Sampai ketemu besok di sekolah.” Sasha melambaikan
tangannya meninggalkan Che.
***
Seperti biasanya, sehabis pulang sekolah
Jerry makan bakso langganannya di warung bakso dekat sekolah. Warung bakso ini
cukup terkenal dengan baksonya yang enak. Apalagi, jika jam makan siang seperti
ini, warung bakso ini cukup ramai dikunjungi orang-orang. Tanpa pandang bulu
ketika pesanannya tiba langsung saja disantap bakso-bakso itu. Di tengah
keasyikannya menyantap bakso, ia melihat 2 sosok siswa-siswi memakai seragam
sekolah yang sama dengan yang ia kenakan. Didorong rasa penasaran dan ingin
tahu, ia mengamati dengan seksama kedua sosok siswa dan siswi yang sedang
tertawa tersebut, sejenak melupakan mangkuk bakso di depannya. Matanya
terbelalak kaget saat sadar siapa kedua orang siswa itu. Si kulit hitam itu
sudah pasti Che, siswa baru di sekolahannya, tidak ada siswa di sekolahannya
yang punya kulit sehitam itu selain Che. Dan yang satunya, bukannya itu Sasha,
pikirnya. Bagaimana mungkin Sasha cewek idamannya itu bisa jalan sama si kulit
hitam itu. “Sialan, berani-beraninya anak baru itu ngambil Sasha dari gue!”
berang Jerry yang tanpa sadar sudah memotong-motong baksonya hingga hancur.
“liat aja loe besok!” ancam Jerry lirih.
***
Tidak
seperti istirahat-istirahat sebelumnya yang banyak Che habiskan di kelas atau
membaca buku di perpustakaan, Che sekarang bersama Sasha duduk di sebuah bangku
taman sekolah. Duduk di bangku cukup rindang dengan daun-daun pohon yang
menghalangi sinar matahari. Mereka berceloteh apa saja, bahkan sekadar
bercerita tentang kehidupan mereka. Kehidupan Che dulu sebelum mereka harus
pindah ke Bandung. Che dulu selalu bersepeda ke sekolah bahkan seringkali
balapan dengan teman-temannya untuk memperoleh es teh manis sebagai taruhannya.
Che juga tak pernah absen mencetak gol ketika ikut sebuah klub sepak bola.
Cerita-cerita yang tanpa sadar membuat gadis di sampingnya itu tidak berhenti
tertawa terpingkal-pingkal.
“Che,
buat kamu bangsa ini apa?” tanya Sasha di sela-sela tawanya.
“Buatku
bangsa ini ramai Sasha, kamu lihat dari
ujung sabang sana sampai nanti berhenti di ujung merauke, banyak kali negara
ini punya pulau. Belum kauhitung berapa banyak pulau-pulau itu punya budaya.
Ramai bukan?” jelas Che sambil menggerakkan kedua tangannya seolah membentangkan
sesuatu di udara.
“Lalu
bagaimana pejabat-pejabat yang korupsi itu? harus kita apakan mereka?” tiru
Sasha yang mencoba logat yang biasa Che pakai.
“Entahlah,
kami orang Timur benci sekali mereka berbuat seperti itu, tapi mereka toh orang
bangsa kita, penduduk yang sama. Saya rasa kita sebagai generasi bangsa harus
bisa tidak seperti mereka, betul toh?” jawab Che sok menjelaskan yang membuat
Sasha hanya bisa menahan senyumnya sendiri.
“Terus
mau kau apakan perbedaan yang ada?” celoteh Sasha.
Che
yang ditanya begitu malah mengulurkan tangannya dan membuat Sasha bingung.
Menatap tangan yang dijulurkan, Sasha malah mengerutkan dahi sambil menatap Che
minta penjelasan. Dan Che yang diminta penjelasan hanya tersenyum sambil
menganggukkan kepalanya. Disambutnya tangan Che itu lalu mereka berjabatan
tangan, “hanya ini yang kita butuhkan, tanpa klise!”
Dari
jauh Jerry yang menatap mereka berdua semakin geram. Dia putuskan bahwa pulang
sekolah nanti dia akan buat perhitungan dengan Che. Che pasti jera setelah
pulang sekolah nanti pikirnya.
***
Bel
pulang sekolah selalu menjadi kegembiraan sendiri buat para siswa sekolah.
Begitu bel itu terdengar, serempak tanpa disuruh mereka akan langsung segera
meninggalkan kelas mereka. Che dan Sasha berniat mengunjungi toko buku yang
kemarin mereka datangi bersama. Mereka berjalan melintasi kelas demi kelas
sambil bercanda-canda dan tertawa. Hingga Sasha berhenti di depan ruang guru,
“Che bentar ya, aku masih harus ngumpulin buku ke wali kelas.”
“Ya
sudah, saya beri tunggu kamu di depan gerbang sekolah.” Ucap Che tersenyum
meninggalkan Sasha yang masuk ke ruang guru. Banyak sekali siswa siswi yang
masih berkeliaran di sekitar gerbang sekolah. Kebanyakan dari mereka adalah
siswa yang menunggu jemputan supir pribadi atau pun supir angkutan umum. Che
yang berjalan dengan tenang tiba-tiba diusik oleh tangan yang menarik bahunya.
***
Jerry
yang melihat Che berjalan sendirian merasa ini kesempatan terbaiknya untuk
membuat Che jera. Ditariknya bahu Che, lalu dilayangkannya tangan yang dari
tadi mengepal penuh emosi. Che yang terkena tinju telak Jerry jatuh ke tanah
meringis sambil memegang bibirnya yang terluka. Jerry yang belum puas
mencengkeram kerah baju Che untuk menariknya bangun, “Ini pelajaran buat orang
yang udah deketin gebetan gue!” sambil melayangkan tinjunya ke arah wajah Che.
“Kenapa
loe? Takut hah?” ancam Jerry.
Che
yang dipukul hanya bisa diam meringis kesakitan tanpa melawan. Dia takut kalau
dirinya melawan malah justru terjadi perkelahian yang semakin panjang. Para
siswa lain di sekitar situ hanya bisa menatap Jerry meluapkan kemarahannya.
Mereka tahu jika mereka ikut campur hanya akan membuat mereka jadi sasaran
kemarahan Jerry. Situasi tersebut justru dimanfaatkan Jerry yang sudah kepalang
emosi. Che yang berusaha berdiri didorongnya ke dinding pintu gerbang, lalu
ditendangnya perut Che dengan lututnya.
Belum
puas dengan perbuatannya, Jerry mengambil tas Che secara paksa. Semua buku di
dalam tas dibuang-buang seperti sampah. Che masih tergeletak menahan sakit di
perutnya karena tendangan keras Jerry tadi. Sementara Jerry sekarang malah
tertawa-tawa sambil memutar-mutar tas Che yang sudah dibuang isinya. Tanpa
sadar Jerry sudah berada di tengah jalan sampai mobil yang melaju cepat
mendekat.
***
Bunyi
rem yang mendecit keras itu masih terdengar olehnya. Dihempaskannya Jerry
dengan tubuhnya ke samping trotoar menghindari mobil yang tak terkendali itu.
Masih terdengar lolongan orang-orang menjerit dan berkerumun di atasnya hingga
ia kehilangan kesadaran.
Saat
membuka matanya, terlihat ada beberapa orang berkumpul di sekitar ranjangnya.
Samar, tidak jelas, Che mengedipkan matanya berkali-kali hingga fokus matanya
benar-benar sadar untuk menatap mereka. Wajah mereka dipenuhi rasa khawatir dan
ketakutan. Ingin ia menggerakkan tangannya saat sadar rasa sakit menjalar di
lengan kanannya. Kemudian ia sadar, tangannya dipenuhi luka dan kepalanya ditutupi
kapas yang diberi obat antiseptik dengan plester luka.
“Saya
dimana?” hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya.
“Kamu
di UKS Che, gimana masih kerasa sakit?” gadis di sebelah kirinya memberi tahu.
Che sadar itu Sasha, ucapan lembut gadis itu cukup menenangkan. Che berusaha
mengingat apa yang terjadi, berusaha memutar semua memori yang dia punya,
hingga ia teringat sesuatu.
“Mana
Jerry? Bagaimana dia?” tanya Che panik kepada Sasha.
“Dia
baik-baik aja, cuma lecet tangan kirinya, tapi gak separah kamu.” Berharap
ucapan itu menenangkannya.
***
“Hebat
ya kamu Che, di saat sakit begini kamu masih bisa khawatir sama orang yang udah
jahat sama kamu” Tasya berucap dalam hatinya, betapa ia tadi mengkhawatirkan
Che.
Kejadian
tadi cukup cepat, ia baru saja keluar dari ruang guru menyerahkan tugas para
siswa yang baru dikumpulkan. Semua orang berhamburan sambil berlari keluar
gerbang sekolah. “Ada kecelakaan Sha.” Teriak salah seorang temannya yang menabraknya
saat berlari keluar.
“Kecelakaan?
Siapa yang kecelakaan?” pikirnya. Tanpa pikir panjang Sasha mengikuti
teman-temannya ke depan gerbang sekolah mereka. Sudah banyak massa yang
berkerumun di tempat dan meributkan bagaimana peristiwa itu terjadi.
“Guys,
tolongin gue!” bentak siswa cowok yang
dikerumuni orang-orang, dirinya keluar menopang seorang siswa yang kepalanya
sudah berlumuran darah dan tak sadarkan diri. Seketika itu juga Sasha kenal persis
siapa siswa yang dibopong itu, “itu Che!” pekiknya dalam hati.
Siswa
itu dibopong dan diletakkan perlahan di atas ranjang ruang kesehatan sekolah.
Selama perawatan tidak satu pun siswa boleh masuk ke dalam. Tangan Sasha erat
memegang tas sekolahnya bertanya-tanya khawatir buat masalah apa si Che itu.
Jerry, Jerry pasti tahu pikir Sasha. Cowok itu duduk frustasi dengan kedua
tangannya menjambak rambutnya. Dengan kasar dan marah ditariknya tangan Jerry,
“Loe apain Che?” tanya Sasha setengah membentak
“Gue
juga gak tahu Sha, semu...semuanya tuh cepet banget kejadiannya.” Jerry
tergagap, matanya berbinar ketakutan.
“Loe
tuh ya! Salah apa sih dia sama loe, sampe loe tega maenin dia kayak gitu” seru
Sasha.
“Dia
salah, dia salah karena berusaha ngedeketin loe! Apa levelnya sih dia buat loe,
dia tuh item, gak ada cocok-cocoknya sama sekali buat loe.” Semua pikirannya
tertumpah sudah, rasa takut kehilangan gadis impiannya yang selama ini Jerry
pendam keluar semua detik itu juga.
“Salah
kalo dia item? salah kalo dia punya temen yang kulitnya lebih terang kayak
kita? Loe pikir kita sama? Gue mau aja temenan sama orang Jawa kayak loe yang
jelas-jelas ras kita itu beda!” Teriak Sasha yang membuat semua orang
memandangi mereka sekarang. “Loe toh juga gak masalah temenan sama Made yang
orang Bali, temenan sama Adi yang ngomongnya Sunda banget, atau malah si Tora
yang batak tulen sampe dia apal banget silsilah pohon keluarganya?” Jerry hanya
bisa diam terpaku menatap Sasha yang mukanya sudah merah karena berang.
“Gue
kasih tau ya Jer! Dia gak pernah sedikit pun mandang perbedaan, yang menurut
loe penting banget, sedangkan menurut gue itu norak abis. Dia cuma pengen
temenan sama kita-kita. loe liat sekarang! temen yang udah loe sakitin justru yang
nyelametin nyawa loe.” Jari yang menunjuk-nunjuk kasar dada Jerry mengartikan
seberapa besar marahnya Sasha kepada dirinya.
Pintu
ruang kesehatan dibuka, semua mata teralih ke pintu itu, menantikan kabar dari perawat
yang keluar, “Temen kalian udah gak apa-apa, bentar lagi juga sadar kok.” Semua
orang menghela napas lega sekarang, beberapa orang mencoba melihat keadaan Che.
“Sha,
gue minta maaf.” Seru Jerry saat Sasha meninggalkannya.
“Loe
minta maaf sama orang yang salah Jer. Loe lebih tau sama siapa loe harusnya
minta maaf.” Sahut Sasha tanpa menatap Jerry yang sendirian dan terenyak di
kursi menyadari kesalahannya.
***
Sekarang
atau tidak sama sekali itu pilihan yang tersedia buat Jerry sekarang.
Ditatapnya dari jendela orang yang menolongnya telah sadarkan diri. Malu
memang, tapi ia harus akui itu kesalahannya. Jerry berjalan pelan menuju ruang
kesehatan, ditatap banyak mata yang mengerumuni Che.
“Hai
bro, masih sakit?” tanyanya berusaha basa-basi mencairkan suasana yang tegang
di antara mereka. Pertanyaan itu hanya dijawab senyuman tulus oleh Che.
Tangan
itu diulurkannya, segenap rasa bersalahnya ditumpahkan sekarang, “Sorry Che,
gara-gara gue loe jadi kayak gini, sorry juga selama ini udah buat loe susah.”
Uluran
tangan itu disambut bahagia oleh Che. Mereka berjabat tangan meletakkan semua
kekesalan dan emosi dalam satu kata “pertemanan”, tanpa klise. Sasha menatap
mereka berdua terharu mengingat apa yang pernah dikatakan Che.
***
“Kamu
kenapa bisa maafin Jerry, Che? Padahal dia udah jahat banget sama kamu.” Tanya
Sasha yang duduk di pinggir lapangan menemani Che mengganti sepatunya dengan
sepatu bola. “Saya sudah pernah bilang toh, kalau Indonesia ini punya
masyarakat ramai, tapi namanya tetap sama warga Indonesia. Mau sampai kapan
kita berkelahi dan mau jadi apa negeri ini nanti kalau generasi muda seperti
kita sudah berkelahi karena beda-beda. Lebih enak seperti ini toh.”
“Che,
buruan main!” panggil seorang siswa di lapangan.
“Saya
main bola dulu Sha.” Pamitnya meninggalkan Sasha sendirian. Di bangku itu,
Sasha sekarang menatap bukan sekedar seorang Che siswa pindahan baru, tapi Che
teman mereka semua.
Komentar
Posting Komentar