Berharap Keseimbangan
Aku akan
memulai sebuah kisah yang aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Kisah ini
seperti letupan-letupan magma di lapisan bumi sana. Ia meletup-letup kecil yang
tidak pernah diketahui namun menjadi besar begitu ia melontarkan magmanya
keluar dari bumi. Tidak perlu memusingkan sebuah metafora indah untuk
melukiskan kisah ini, mari dimulai begitu saja. Terkadang sebuah bergulir tanpa
penyebab, air mengalir tanpa pernah ada yang mendorongnya, atau bahkan angin
bergerak tanpa ada udara lebih panas atau lebih dingin bukan? Letupan itu tanpa
dasar, tanpa awal, tapi muncul begitu saja. Sebagai seorang gunung, aku tidak
lagi mampu menahannya tapi keluar begitu saja, sama seperti nafas. Kalau ingin
hidup udara harus terus masuk dan keluar kan. Bagaimana jika ini terus
meletup-letup tapi aku tahan. Diriku hancur oleh diriku sendiri, bahkan tak
heran kematian menjelang karena udara tidak lagi masuk. Oleh sebab itu, aku
butuh penyeimbang agar langkahku tidak goyah dan tidak hancur saat itu meletup,
atau setidaknya ia membantu meredam letupan itu.
Kemudian aku
merancang sebuah penyeimbang yaitu air atas api, sama seperti setiap subjek
harus punya predikat, setidaknya untuk menjadi sebuah kalimat sederhana. Semua
dibuat berdasarkan kategori keseimbangan dan oposisi biner mudah. Kalau kamu
memiliki kanan, maka harus punya kiri, padahal banyak orang masih bisa survive
walau yang bertahan hanya sisi kanan mereka. Akan tetapi, tetap butuh usaha
keras. Akan tetapi, ini bukan sebuah hitungan equilibrium di mana harus ada
titik tengah. Aku mau agar keseimbangan itu dinamis di mana terjadi
ketersalingan. Hal ini juga yang membuat manusia tercipta secara seimbang,
yaitu wanita atau pria. Mari kita buang-buang jauh adanya kalkulasi pertumbuhan
penduduk, mana yang lebih banyak. Hal itu hanya akan membuat kita pesimistis
apabila oposisi kita lebih banyak, bukankah begitu? Tapi aku cukup optimis atas
air dari api yang aku miliki, walau aku tak yakin air akan mengalir ke dalam
sana. Keoptimisan itu pada kemampuan air atas api, bukannya kehadiran sang air.
Dengan demikian, aku mulai berharap.
Harapan adalah
sebuah lilin bernyala. Ia siap mati kapan saja. Dalam terminologi apapun, harapan
selalu menjadi pijakan setiap orang yang mau melangkah ke depan. Bayangkan bila
kita berjalan tetapi tidak memiliki harapan, bukannya kita melangkah tanpa
kaki. Atau mungkin lebih kejam lagi, kita melangkah tapi tanpa pernah tau di
mana kita mendaratkan kaki kita. Akhirnya, aku mulai menaruh harapan pada awan,
angin, cuaca, dan prediksi langit akan adanya hujan. Hujan yang akan memberi
keseimbangan pada letupan api-api ini. Harapan bahwa aku sungguh-sungguh
melangkah di atas tanah, ataupun air jika bisa, setidaknya aku tahu di mana aku
harus mendaratkan kakiku. Harapan itu aku kobarkan sekuat-kuatnya agar sang
lilin tetap menyala. Harapan yang aku jaga itu aku buat senyaman mungkin agar
apinya tetap stabil dalam takaran oksigen sekaligus karbondioksida yang
seimbang. Atau bahkan jika pesimis hadir dan dan diam sehingga aku harus
membiarkan letupan ini tertahan sendirian. Aku akan menjadikannya pijakan agar
tetap dalam keoptimisan. Dalam harapan, pesimis dan optimis harus menjadi
keseimbangan bukan? Hal ini agar tidak menjadi sebuah retorika belaka.
Tentu, sudah
tentu aku tidak sedang beretorika. Aku tidak punya argumentasi kuat berdasar
pada pemikiran kritis dan reflektif ala politisi. Pemikiran yang mampu
meyakinkan sang langit dan awan agar mengucurkan airnya. Aku juga tidak punya
bekal pengetahuan seluas semesta untuk menundukkan cuaca atau memerintahkan
laut untuk menguapkan airnya aga menjadi bekal bagi awan berkondensasi menjadi
hujan. Retorika itu kemudian bukan hal yang tepat untuk mengungkapkan semua
ini. Apalagi puisi atau prosa romantis yang bisa diutarakan.
Ada ribuan
kisah atau bahkan jutaan kisah yang tetap menjadi trend bahkan patokan sebuah
definisi dari terkabulnya harapan akan keseimbangan. Ada sederet nama, seperti
Shakespeare, Kahlil Gibran, atau mungkin yang sedikit lebih lokal, seperti
Chairil Anwar atau mungkin juga Sapardi yang punya kapabilitas merangkai jutaan
bunyi huruf menjadi sebuah rentetan sastra hebat untuk mencairkan es di ujung
utara dan selatan untuk menghentikan letupan mereka. Atau kita rancang saja
hujan buatan dengan serangkaian jampe-jampe kimiawi? Ah, bahkan aku takut
berurusan dengan ilmu pengetahuan baik yang berbau eksakta atau yang
metafisis. Aku juga tidak punya motivasi
untuk mendefinisinya karena aku tidak akan memberikan batasan padanya. Aku
bahkan tidak punya setitik tanda baca untuk mengutarakannya. Tapi jangan kira
ini akan berhenti. Tidak! Ini baru saja dimulai. Aku bekerja bersama sang
waktu. Sang waktu akan tetap bergulir layaknya nafas yang memberi diri ini
kehidupan dan membuat letupan itu terus menyala dan membesar, sedang Aku
berusaha menggapai airnya. Aku berusaha membuat sang air rela mengucurkan
dirinya. Aku berusaha meluluhkan es di ujung utara dan selatan dengan
kehangatan dari api harapan yang aku punya. Sisanya, aku tidak akan berusaha
menciptakan keseimbangan itu terjadi, tetapi membiarkan air yang memilih untuk
menyeimbangkannya atau membiarkannya. Ini bukan kepesimisan, tapi daratan di
mana aku menginjakkan kakiku.
Komentar
Posting Komentar