Non Scholae sed Vitae Discimus - sebuah refleksi
Beberapa hari ini ada fenomen-fenomen yang mungkin baru saya lihat atau saya sadari. Fyi, saya seorang karyawan yang sehari-hari menggunakan transjakarta sebagai moda transportasi saya untuk bekerja dari Serpong hingga Jakarta Barat. Di transjakarta ini lah saya melihat ada beberapa siswa dan mahasiswa yang harus berangkat sekolah dan kampus. Yang menarik adalah fakta bahwa untuk sekolah mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh. Komentar beberapa orang mungkin "kenapa harus jauh-jauh, di Serpong juga banyak kali sekolah yang bagus". Saya tidak bisa memungkiri hal tersebut. Tapi yang menjadi sorotan saya adalah keinginan mereka untuk sekolah. Mereka rela bangun pagi-pagi, terkadang harus tertidur di bus, begitu juga ketika mereka pulang dari sekolah atau kampus. Hal ini mengingatkan saya dengan fakta bahwa ada anak-anak yang sama harus berjalan kaki dan medan yang sulit, tak jarang pula berbahaya demi bisa sekolah. Mereka menjadi imaji nyata bahwa banyak anak yang ingin memperoleh pendidikan, meski harus berjuang.
Dari fakta menarik itu, saya kemudian teringat ada pemikiran "ngapain sekolah toh gue udah sukses" atau "ngapain sekolah tinggi-tinggi, toh gue udah sukses" atau "ngapain sekolah tinggi-tinggi, keluarga gue punya usaha yang sukses secara finansial". Saya berusaha menarik logika pribadi bahwa "kalian sekolah supaya kalian sukses?" Kalau logikanya seperti itu, saya tidak bisa menyalahkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu cara mengentaskan kemiskinan. Di sisi lain, banyak kisah yang menyebutkan bahwa untuk sukses gak butuh sekolah tinggi-tinggi, apalagi buat mereka yang memiliki usaha keluarga yang cukup sukses. Yang kalian butuhkan cuma kerja keras. Ditambah lagi ada data yang menyebutkan banyak sarjana di Indonesia menjadi pengangguran. Dan udah jadi sarjana dan punya pekerjaan pun belum tentu anda sukses. Pengusaha-pengusaha sukses pun belum tentu memiliki gelar atau sudah menempuh pendidikan yang tinggi. Fakta-fakta tersebut mendukung pemikiran bahwa untuk sukses, tidak diperlukan sekolah dengan jenjang yang cukup tinggi atau ya sekolah secukupnya.
Fakta "sekolah untuk menjadi sukses" dan fenomena yang saya saksikan tadi cukup membuat saya merefleksikan kenapa saya sekolah hingga sarjana bahkan menyisihkan gaji saya untuk menempuh pendidikan pascasarajana. Kata pertama yang muncul adalah saya dulu disuruh orang tua saya supaya saya pintar. Tidak jarang orang tua saya marah karena saya mendapat nilai merah. Akan tetapi, beranjak dewasa pemikiran 'supaya saya pintar melarut', orang tua saya bahkan tidak pernah peduli lagi dengan nilai yang saya dapat di sekolah. Bagi mereka, yang penting saya lulus. Ya saya juga bukan orang pintar, tapi juga tidak terlalu bodoh. Konsep saya sekolah pun berubah bukan hanya supaya saya pintar, tapi saya supaya saya mendapatkan ilmu. Di saat orang-orang memburu IPK bagus supaya mudah diterima bekerja, saya belajar untuk memahami apa yang saya dapat di kelas dan orang-orang di sekitar saya. Lalu kenapa saya sekolah? Kalau saya berpikir bahwa sekolah supaya saya sukses tentu saya salah, kenapa? Karena saya memilih kuliah di jurusan yang tidak menjanjikan profesi yang cukup menjanjikan. Saya seorang sarjana dari fakultas filsafat di salah satu perguruan tinggi swasta di Indonesia. Bukan salah satu fakultas favorit pastinya, yang ada malah dianggap "nerd". Tapi dalam refleksi ini saya mau mengatakan bahwa saya kuliah supaya saya belajar melihat dunia dengan cara pandang atau cara pikir filsafat. Menurut saya, ini berlaku untuk mereka yang belajar di bidang atau jurusan lain. Mereka mungkin ingin melihat dan memahami dunia lewat kacamata entah itu Fisika, Ekonomi, Teknik, Kedokteran, dll. Saya menikmati pemahaman saya mengenai konsep sekolah atau pendidikan seperti ini. Cara pandang seperti ini karena saya tidak terkungkung oleh nilai dan saya tidak berhenti berpikir dan belajar memahami dunia dengan cara pandang saya, segala sesuatu menjadi lebih ringan. Mungkin juga orang lain memikirkan hal yang sama dengan saya. Sekolah menjadikan saya punya kesempatan luas dengan orang-orang yang berpikir cukup luas, bahkan sangat luas. Sekolah mengajarkan saya melihat segala sesuatu lebih mendalam dan berpikir lebih dewasa. Sekolah mengajarkan saya untuk berpikir saya bisa menyumbangkan apa untuk dunia dan orang-orang di sekitar saya. Seberapa mendalam saya berpikir dan seberapa aplikatif pemikiran saya tersebut. Saya merasa begitu pula orang-orang yang memiliki pandangan sama dengan saya rasakan tentang sekolah dan belajar.
Mungkin banyak orang berpikir bahwa sekolah atau belajar tidak perlu melalui pendidikan formal di sekolah atau universitas, atau semua orang ga seberuntung saya yang bisa sekolah dan punya pendidikan dengan jenjang yang cukup tinggi. Akan tetapi penekanannya bukan pada pemikiran harus sekolah hingga jenjang cukup tinggi supaya memiliki pemikiran mendalam atau berguna bagi dunia. Melainkan, saya sekolah bukan untuk sukses secara finansial atau memperoleh penghasilan yang cukup tinggi. Kalau berpikir sekolah untuk sukses, maka saya akan merasa sangat stres. Saya akan merasa gagal karena penghasilan saya belum cukup tinggi untuk membanggakan orang tua saya yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk saya sekolah. Saya juga bukan mahasiswa berprestasi yang bisa membuat orang tua saya bangga dengan banyaknya prestasi yang saya dapatkan. Saya juga belum berguna apa-apa untuk orang di sekitar saya. Tapi refleksi saya adalah sekolah saya memberikan dan membentuk cara berpikir saya, atau meluaskan horison saya yang mungkin bisa semua orang dapatkan dimana pun tanpa harus sekolah. Tetapi setidaknya sekolah memberikan kesempatan untuk memiliki dan belajar tentang cara berpikir dengan kacamata tertentu. Sekolah mendorong saya untuk tidak hanya berpikir bahwa apa yang dipelajari tidak membuat sukses secara finansial, tapi berguna untuk orang lain dengan apa yang saya pikirkan dan lakukan dengan pemikiran saya. Dari refleksi ini saya memahami bahwa semua orang mau sukses secara finansial, sama seperti bilang semua orang butuh "materi", tapi apakah semua orang mau belajar, memahami, menghasilkan sesuatu bagi dunia dan bagi sesamanya? Kalau tidak, tentu sangat menyiksa harus bangun pagi-pagi, naik transjakarta yang berdesak-desakan atau menempuh medan berat untuk sekolah. Bukankah pepatah mengatakan non scholae sed vitae discimus, sekolah bukan hanya untuk sukses secara finansial tapi untuk hidup. Apakah hidup hanya untuk kepuasan finansial? Saya tidak berusaha mengoreksi pemikiran siapapun atau pendapat siapapun. Tulisan ini pun tidak punya dasar teori atau fakta yang kuat untuk mendukung pemikiran saya. Ini haya sebuah celoteh dari pengalaman pribadi saya dari fenomen-fenomen yang saya lihat.
Komentar
Posting Komentar