Kutitipkan

Pagi itu cerah, cerah sekali, tak pernah ada langit sebiru itu, tak pernah ada awan seputih dan selembut itu atau aku yang selama ini tidak pernah menyadarinya, aku yakin itu akan lembut ketika disentuh. Tapi tidak, aku tidak ingin menyentuh awan itu sekarang. Saat ini aku lebih memilih berdiri di depan pintu. Aku berdiri menatap gelisah waktu di tanganku yang tak mau berhenti barang sedetik. Aku berdiri di sini bukan sebagai satpam yang menunggu untuk membukakan pintu bagi pengunjung, aku di sini menunggu. Aku menunggu untuk mengantarkannya. Ya, untuk mengantarkan dia, dia yang menurutku berharga dalam hidupku.
Aku masih ingat malam itu, aku baru meletakkan sepatuku di rak yang terletak tepat di samping pintu rumah, tepat di sebelah kanan ketika semua orang masuk ke rumah ini. Jangan tanya siapa yang menyusunnya. Sudah pasti dia, sejak 12 tahun yang lalu dia yang menyusun segala hal di dalam rumah ini mulai dari letak rak sepatu, lukisan di ruang tamu, susunan sofa, tata letak meja makan, vas bunga. Aku sendiri terkadang heran, bagaimana ia bisa mengkonsepkan susunan semua ini menjadi seperti ini? itu bukan pertanyaan krusial yang perlu ditanyakan sekarang. Pertanyaan yang dari tadi memberondongku dan memaksaku untuk meninggalkan segala pekerjaanku di kantor adalah bertingkah apa lagi dia meneleponku untuk segera pulang. Aku melihat dia duduk di meja makan, semua letak makanan tersusun rapi, dan dia menatapku dengan seulas senyuman yang selalu membuat aku jatuh cinta kepadanya. Tidak ada yang meragukan kecantikkannya, terlihat dari banyaknya teman cowok yang selalu mendekati dia. Dan malam itu dia sangat cantik, rona wajahnya yang diterpa lampu ruang makan yang dia pilih supaya berkesan romantis katanya, mengguunakan blus putih dipadu dengan rok hitam yang seingatku baru dia beli kemarin di salah satu mall saat kami pergi berbelanja bersama. Aku menatapnya dengan mengkerutkan dahi keheranan. "jadi? ada acara apa malam ini?" tanyaku sambil duduk di ujung meja berhadapan dengan dirinya.
"makan dulu dong" jawabnya polos tetap tersenyum, "aku masak spesial lho hari ini" sambil mengambilkan nasi untukku. Dia ingat persis porsiku, seberapa banyak aku akan makan, seberapa banyak sayur yang akan aku ambil, dia yang saat ini satu-satunya orang yang mengenal aku lebih baik daripada siapapun.
Perlahan aku menyuap nasi yang ada di piringku, sesekali menatapnya yang masih saja tersenyum geli melihat aku makan. "kamu boleh sambil cerita kok, daripada kamu senyum-senyum sendiri gitu" pintaku sambil mendorong nasi dengan garpu ke sendokku, dan reaksinya hanya tertawa, tawa kecil yang selalu akan aku rindukan. "Pa, aku mau menikah." cukup tiga kata dan sendokku jatuh ke atas piring. Telingaku mendadak tuli, mataku mendadak buta, pikiranku tidak bisa menebak apa-apa bahkan sekedar berimajinasi, semua impuls sarafku mungkin macet di dalam sana, aku stuck dalam sebuah waktu yang melumpuhkan aku hingga tidak tahu mau berbuat apa dan harus bagaimana. Realitasku hilang, yang ada hanya bayang-bayang bayi kecil perempuanku yang selama ini kurawat, anak yang selama ini aku jaga, remaja yang tumbuh riang dalam dekapanku. Pelan-pelan realitasku kembali, aku mulai bisa menatapnya bukan lagi bayang-banyang dalam anganku, aku menatap kekinian, kekinian dimana bayang itu telah menjadi gadis dewasa yang tumbuh mandiri. 
Aku menatapnya menjatuhkan setetes air mata, raut muka sedih itu aku kenal persis selama 25 tahun ini, raut sedih karena takut mengecewakan. Dia selalu takut mengecewakan semua orang di sekitarnya. "Pa, papa gak setuju ya? maaf ya Pa" isaknya, ia menutup tangisannya dengan kedua tangannya, tangisan itu tulus, ketulusan yang selalu membuat aku percaya kepadanya lebih dari siapa pun. Kudorong kursiku kebelakang, kulangkahkan kakiku kepadanya, kemudian tangan itu kugenggam, menariknya dalam dekapanku sambil mengusap-usap punggungnya, dekapan sayang yang sama setiap kali ia menangis mengadu kepadaku, tapi kali ini tidak, kali ini dia membutuhkan apa yang selama ini setiap anak minta kepada orang tuanya, "Iya, Papa merestui kamu"
Ucapan itu terwujud hari ini, di depan pintu ini, saat ini aku menatapnya datang dengan gaun pengantin putih. Gaun itu lebih dari sekedar menghias anak perempuan tunggalku lebih cantik daripada kecantikannya yang selama ini pernah aku lihat. Dia bidadariku, malaikatku, hartaku yang paling berharga, kuantarkan dia menuju altar dengan langkah pelan dan pasti, menuju orang yang telah menantinya di sana. Orang itu adalah orang yang dia percayakan kepadanya untuk menjadi pendamping hidupnya, orang yang kepadanya akan dia serahkan seluruh hidupnya. Di depan altar ini, sambil menyerahkan anakku kubisikkan dengan lembut kepada pria itu, "kutitipkan hartaku yang tak ternilai, tolong jaga dia!" Kini air yang menggantung itu jatuh menjadi bulir-bulir di pipiku.

Komentar

  1. good job my brohh :)

    BalasHapus
  2. well... kamu lebih bertaring di cerpen daripada puisi.
    nulis lagi dong..
    dan mengapa tak kau kirim cerita ini ke salah satu surat kabar...?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer